Rabu, 02 Juni 2010

Pragmatisme Merantau: Pereduksian Makna dan Nilai Sosial Budaya Merantau

oleh: Ifdal

Mencari penghidupan di negeri orang, itulah defenisi ringkas dari kata merantau yang sering kita dengar dan bahkan juga kita terima dengan begitu saja. Gambaran yang muncul dalam fikiran kita dari defenisi tersebut adalah bahwa orang pergi meninggalkan kampung halaman serta sanak saudaranya untuk mencari “penghidupan” yang lebih baik, yang lebih banyak dipahami dalam wujud materi saja. Konsekuensinya, seorang perantau akan merasa enggan untuk kembali pulang ke kampung halamannya bila tidak dengan suatu “penghidupan” (materi?) yang cukup. Kondisi ini diperparah lagi oleh ekspektasi atau harapan yang sama dari masyarakat di kampung halamannya yang akan senantiasa menilai keberhasilan seorang perantau dari sisi materi semata. Seorang perantau yang kembali pulang tanpa membawa materi yang banyak tidak akan dihargai di kampung halamannya. Benarkah begitu makna sesungguhnya dari “merantau”? Atau mungkin makna merantau saat ini sudah dibelokkan, direduksi dan dikotori oleh nilai-nilai luar sehingga nilai-nilai intrinsik lokal menjadi kabur atau mungkin juga sudah hilang sama sekali? Mari sejenak kita tinjau kembali ke belakang sekedar untuk mengetahui dimana sebenarnya sekarang kita berada dalam rentang garis sejarah kehidupan ini.

Di Minangkabau ada pepatah yang seringkali diasosiasikan dengan kebiasaan merantau dari masyarakatnya, yang berbunyi sebagai berikut:

Karantau madang di hulu

Babuah babungo balun

Marantau bujang dahulu

Di kampuang paguno balun

Pemahaman konvensional tentang merantau pada umumnya mengaitkan kebiasaan merantau tersebut dengan pola penguasaan lahan (tanah pusako)di Minangkabau yang dikuasai oleh mamak kepala waris sehingga seorang kemenakan dalam kebanyakan kasus tidak memiliki akses terhadap sumberdaya utama tersebut. Kondisi inilah yang kemudian dianggap sebagai faktor pendorong utama bagi generasi muda untuk pergi merantau meninggalkan kampung halaman. Akan tetapi, kebenaran hasil penelitian tersebut selayaknya kembali dipertanyakan karena pendekatan yang digunakan sangat berbau Marxisme serta tidak sesuai dengan konteks permasalahan yang ril dalam masyarakat Minangkabau. Benarkah akses terhadap lahan menjadi penyebab utama orang Minang pergi merantau?

Pepatah di atas dengan jelas menyatakan bahwa seseorang pergi merantau karena di kampung dianggap belum bisa berbuat banyak bagi kehidupan masyarakatnya (kampuang). Pertanyaannya, apakah itu disebabkan karena seseorang tidak memiliki akses terhadap lahan? Tidak, sama sekali tidak. Seseorang merasa belum berguna bagi masyarakatnya atau belum bisa berbuat banyak bagi kampungnya karena belum cukup ilmu dan pengalaman. Oleh karena itu, tujuan utama pergi merantau menurut sejarahnya adalah untuk menuntut ilmu dan menimba pangalaman yang kelak bisa digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat kampung halamannya. Merantau dalam konteks ini bukanlah untuk mengumpulkan materi sebanyak mungkin bagi kehidupan kita sendiri seperti yang umumnya dipahami pada saat ini. Makna merantau pada saat ini amat pragmatis serta sudah kehilangan nilai sosial yang melahirkan dan membesarkannya. Bila dulu merantau mencari ilmu dan pengalaman untuk membangun kampungnya, maka sekarang merantau mencari harta dan kekayaan bagi kehidupan pribadi si perantau.

Sejarah juga telah mencatat betapa amat banyak orang Minang yang kemudian menjadi tokoh terkenal karena ilmu dan pengalaman yang ditimbanya di perantauan, bukan karena harta yang ia kumpulkan. Sebut saja umpamanya Muh. Hatta, Syahrir, HAMKA, H. Agus Salim, Tan Malaka dan banyak lagi tokoh-tokoh nasional maupun lokal amat berjasa dalam membangun bangsa dan kampung halamannya setelah merantau mencari ilmu dan menimba pengalaman di negeri orang. “Penghidupan” bagi mereka adalah ilmu yang berguna bagi kesejahteraan masyarakat dan kampung halamannya, bukan mobil yang bagus, rumah yang mewah dan bukan juga uang yang berlimpah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar